Atjeh Tram, Riwayatmu Kini
Atjeh Tram" di atas jembatan "Demmeni" di Kutaraja (Banda Aceh), sekitar tahun 1895. Sumber foto : KITLV Leiden |
Sementara tahun
berganti tahun, sudah lama kereta api tidak menjadi alat angkutan darat yang
terpenting di Aceh. Seperti dikatakan Kepala PNKA (Perusahaan Negara Kereta Api) Eksploitasi Aceh, M, Djunaed yang
hanya mampu mengumpulkan uang karcis 2 juta rupiah tiap bulan, "sekarang
saingan datang dari jalan raya". Maksudnya: bis, trek dan mobil-mobil
lain.
Peresmian rel kereta api di Bereuenun, Pidie, 15 Juni 1906. Foto: Koleksi KITLV |
Demikian dilaporkan Majalah Tempo pada edisi Oktober
tahun 1972. Sesungguhnya laporan itu tidak berlebihan. Demikianlah adanya.
Laporan pandangan mata itu dituliskan dengan begitu apiknya oleh empat wartawan
Tempo yang waktu itu berkunjung ke Banda Aceh untuk meliput kegiatan Pekan
Kebudayaan Aceh ke-2. Keempat wartawan itu,
Chairul Harun, Zakaria M.Passe, Burhan Piliang dan E.Bachri Sikum.
Masih dalam laporannya, para wartawan Tempo itu melukiskan
kondisi trasportasi dan infrastruktur Aceh kala itu.
Keadaan jalan-jalan
raya dan jalan propinsi juga tidak berbeda banyak seperti ketika ditinggalkan
Belanda, yang membuatnya semata-mata untuk mengangkut serdadu. Begitu juga jaringan
kereta api. Itu sebabnya yang terbaik hanyalah jalur-jalur sepanjang pesisir
Timur, yang menghubungkan Banda Aceh dengan Medan. Jalan-jalan ke pedalaman
belum sempat difikirkan di tengah kesibukan baku tembak dan baku tikam. Begitu
pula waktu T. Daud Beureuh. mulai menghunus rencongnya, tidak sedikit rel dan
gerbong kereta menjadi mangsa api, sementara tiap tahun banjir menggilas jalan
raya antara Langsa dan Lhokseumawe. Pemandangan ini lah yang terpampang di
depan mata Pemda dan BPPA, ketika mereka berniat membangun landasan ekonomi
daerah ini, 4 tahun lalu. Serta merta dibidiklah sasaran pembangunan jangka
pendek tubuh Aceh yang penuh balur-balur perang: membangun prasarana, sebagai
"urat nadi" pembangunan ekonomi.
Empat tahun berlalu,
tapi wajah Aceh tetap belum banyak berubah. Gubernur Aceh sendiri kalau mau
melawat ke Aceh Tenggara, lebih senang terbang dulu ke Polonia, kemudian naik
mobil dari Medan ke Kutacane yang hanya menelan waktu 2 jam. Kalau ditanya apa
sebabnya, tanpa tedeng aling-aling Muzakkir Walad hanya berkata "masih
banyak yang begini-begini" sembari tangannya meliak-liuk melukiskan
keadaan jalan. Atau menurut istilah orang-orang Aceh, "jalan-jalan di
daerah masih banyak yang keriting". Dan di antara penggalan-penggalan
jalan negara yang masih keriting dari 364 jembatan baru 120 buah selesai
diperbaiki tahun ini, 12 biji atas biaya Pertamina.
Dari Atjeh Tram ke Atjeh Staats Spoorwegen ke Trans Sumatera Railway Development
Stasiun Kutaraja, 1895. Foto Koleksi Tropen Museum |
Gerbong-gerbong
kereta Atjeh Tram saat itu didatangkan dari Jerman. Rel-rel kereta yang
dibangun menyatukan jalur menuju benteng pertahanan Belanda yang satu dengan
yang lainnya. Selain mengangkut serdadu dan logistik seperti kuda dan juga
peralatan tempur lainnya, Belanda juga punya kepentingan untuk terus memperkuat
pertahanannya dengan mengawasi seluruh kawasan yang dilintasinya.
Pada tanggal 26 Juni 1874 rel kereta api pertama dibangun di
kawasan pelabuhan Ulee Lheue ke Kutaraja
dengan rel kereta api sepanjang 5 km dan lebar spoor (rel) 1,067 m. Pada Agustus 1876, jalan kereta api Ulee Lheue resmi
dibuka untuk umum dengan menghabiskan biaya 540.000 gulden.
Tahun 1885, jalur kereta api
diteruskan hingga Gle Kameng-Indrapuri,
namun hanya mampu mencapai Lambaro dengan alasan keamanan. Lebar spoor
dikurangi menjadi 0,75 m dengan panjang 16 km. Tahun
1886 dibuka jalur dari Kutaraja menuju Lamnyong. Kemudian dibangun juga
jalur dari Krueng Cut menuju rumah sakit militer di kawasan Pante Pirak. Jalur
ini digunakan untuk membawa orang luka dan sakit dari pos militer ke luar Aceh.
Kereta pengangkut jenazah untuk para serdadu Belanda. Foto : Koleksi Tropen Museum |
Pembangunan salah satu ruas rel kereta di kawasan Sigli, sekitar tahun 1910. Foto : Koleksi Tropen Museum |
Tak jarang rel-rel juga gerbong kereta milik Belanda ini diledakkan atau
diserang oleh para pejuang Aceh. Seperti tercatat pada 28 Januari 1889, sebuah
granat diledakkan para pejuang Aceh di lintasan rel kereta api di kawasan
Lamara yang menuju ke Lampenerut. Tak hanya itu, jembatan kemudian juga dibakar.
Akibat kejadian ini, Belanda memutuskan untuk tidak menyambung rel kereta ke
beberapa kawasan karena kerusakan yang berulang kali akibat serangan para
pejuang Aceh. Alasan lain, para pekerja yang didatangkan dari Jawa dan juga
para serdadu yang mengawasi pembangunan rel sering mendapat serangan dari para
pejuang Aceh.
Stasiun Kereta di Indrapuri, Aceh Besar, 1898. Foto: Koleksi Tropen Museum |
Pasukan Marsose di kawasan rel kereta di Sigli, sekitar tahun 1900-an. Foto Koleksi: Tropen Museum |
Bulan Januari 1898, jalur kereta api sepanjang 18 km diperpanjang hingga
mencapai Seulimum dan dimanfaatkan untuk umum. Tahun 1900, Gubernur Van Heutzs merencanakan
perluasan jalur kereta api Seulimuem-Sigli-Lhokseumawe. Biaya ditaksir untuk
membangun jalur ini sebesar 3 juta gulden, biaya terbesar untuk membuat
lintasan di pegunungan yang sangat berat.
Tanggal 15 September 1903 jalur Beureunun
– Lameulo sepanjang 5 km siap dikerjakan dan dibuka untuk umum. Tahun 1912, pertemuan jalur kereta api lintasan
Deli Pangkalan Berandan - Aceh dimulai. Di tahun yang sama, jalur kereta api Langsa - Kuala Simpang
resmi dibuka untuk umum
Pada tahun 1916, ketika situasi di Aceh sudah mulai benar-benar dapat dikuasi
Belanda, pengawasan kereta api tidak lagi di bawah kekuasaan militer, tapi sudah mulai
ditangani pihak sipil. Seiring itu, nama Atjeh Tram kemudian berganti nama menjadi
Atjeh Staats Spoorwegen (ASS).
Singkatan ini kemudian diplesetkan pada zaman itu menjadi Asal Sampai Sadja (ASS).
Pembanguan rel kereta mendatangkan pekerja dari Jawa. Foto diambil sekitar tahun 1910. Foto: Koleksi Tropen Museum, Belanda. |
Pada 29 Desember 1919, persambungan kereta api Deli Spoorweg Maatschappij dengan
lintas Aceh diresmikan pemakaiannya. Total panjang jalur kereta api Aceh 450 km
dengan total biaya 23 juta gulden. Perjalanan dari Medan menuju Kutaraja (
Banda Aceh) memakan waktu 2 hari perjalanan.
Setelah Indonesia merdeka, transportasi kereta api di Aceh terus digunakan. Tetapi, pada tahun 1982, transportasi kereta Aceh resmi
tidak beroperasi lagi di Aceh, karena terus merugi. Kereta api tidak
mampu bersaing dengan sarana transportasi jalan raya yang sudah semakin
baik kala
itu. Ditambah lagi, onderdil kereta api semakin sulit dicari, karena
banyak gerbong dan loko merupakan peninggalan zaman Belanda.
Ketika Dana Pembangunan Rel Kereta Api Aceh (akan) Dialihkan
Pascareformasi 1998, BJ Habibie presiden kala itu mengeluarkan janji politik kepada masyarakat
Aceh. Salah satu janjinya menghidupkan kembali jalur kereta api. Pasca janji tersebut, pada
tahun 2002 dibuatlah Rencana Umum Pengembangan Kereta Api Sumatera, yang
merupakan hasil kesepakatan Gubernur se-Sumatera.
Program
Perkeretaapian Aceh merupakan bagian dari program Trans Sumatera Railway
Development. Pembangunan jalan kereta api Aceh dianggap solusi tepat saat
ini dan juga di masa depan, di mana angkutan kereta api ini bersifat massal,
murah, aman dan efektif. Pembangunan kembali jaringan pelayanan kereta api Aceh
diyakini memberikan dampak positif bagi masyarakat khususnya masyarakat Aceh.
Pelayanan tersebut
akan semakin membuka dan menghubungkan kota-kota di Aceh dengan kota-kota di
Sumatera Utara. Lintas jaringan tersebut juga nantinya akan terhubung dengan
jaringan baru yang menghubungkan kota-kota di provinsi Riau, Sumatera Barat,
Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung dalam satu kesatuan sistem Trans
Sumatera Railway.
Tetapi apa lacur, beberapa jalur yang sudah mulai dibangun seperti jalur di
lintasan Kabupaten Bireuen menuju Lhokseumawe sepanjang 14 kilometer, dibongkar
karena dinilai mengganggu lintasan jalan raya yang akan dilebarkan.
'Monumen" Atjeh Tram di Banda Aceh, Foto diambil Juli 2012. Foto: Raihan Lub |
Di Lhokseumawe,
pembangunan rel kereta api ditolak mentah-mentah oleh
anggota DPRK Lhokseumawe. Itulah sebagian kecil dari carut marutnya
pembangunan rel kereta api di Aceh. Harusnya, jika berjalan sesuai
rencana, maka
pembangunan rel kereta api Aceh selesai pada tahun 2012 ini.
Anggaran yang telah digelontorkan
menjadi sia-sia. Padahal, pembangunan transportasi kereta api ini bukan tanpa
alasan. Pengembangan ekonomi, wilayah dan pengembangan
transportasi sebenarnya menjadi alasan yang cukup kuat . Sayangnya, memang pada saat keputusan pembangunan kembali jaringan
kereta api dilahirkan, kebijakan pembangunan Aceh dalam situasi yang sarat dengan kepentingan politis.
Ironinya, pada pekan
lalu, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah meminta agar dana yang selama ini
dianggarkan pusat untuk pembangunan transportasi kereta api, akan dialihkan untuk
pembangunan irigasi yang sangat dibutuhkan petani di Aceh. Permintaan Zaini
tersebut disampaikan secara khusus saat diterima Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Prof Armida Alisjahbana.
"Tiap tahun kita
hanya melihat rel kereta api-nya saja, tanpa pernah tahu kapan akan dilintasi
kereta api,” kata Gubernur, seperti dikutip dari Harian Serambi Indonesia edisi
1 Agustus 2012.
Sayang seribu sayang. Idealnya, gubernur
Aceh yang lama bermukim di Eropa ini berupaya mengembalikan kereta api Aceh,
bukan sebaliknya. Sebagaimana kita ketahui, pembangunan jaringan kereta api di
Eropa berhasil mengatasi masalah pengangkutan.
'Monumen" Atjeh Tram di Banda Aceh. Foto diambil Juli 2012. Foto : Raihan Lubis |
Tak hanya itu,
sejarah mencatat, umumnya wilayah-wilayah yang dilintasi dan dijadikan stasiun,
berkembang menjadi daerah yang ramai bahkan menjadi kota.
Dengan adanya
stasiun, akses ke suatu wilayah menjadi terbuka, perekonomian meningkat, serta
mobilitas penduduk dan pemukiman terpacu. Bukankah ini sebuah peluang untuk membuka keterisolasian sejumlah daerah di Aceh ?
Irigasi penting,
tetapi pembangunan trasnportasi kereta api juga penting rasanya -jika kita berniat ingin
menjadikan Aceh sebagai daerah yang maju dan berkembang untuk masa yang akan datang. Lihatlah di kota-kota maju di
belahan dunia sana, transportasi kereta api menjadi sebuah kemutlakan.
Dus, jika rindu melihat loko di
Aceh, kunjungilah
halaman swalayan Barata di Jln. Sultan Alaidin Mahmud Syah, Banda aceh.
Di
pojok kiri bagian depan bangunan , teronggok sebuah loko tua peninggalan
Belanda . Bolehlah berfoto-foto di dekatnya sembari berangan-angan.
Hitung-hitung mengunjungi salah satu situs sejarah di Aceh. Karena di
tempat itu dulu berdiri stasiun kereta api Kutaraja.
Spanduk di kantor PT KAI, Banda Aceh, Juli 2012. Foto: Raihan Lubis |
Sementara itu,
kantor Pusat Aset Non Produksi Wilayah 14 Aceh milik PT Kereta Api Indonesia (KAI),
yang terletak di jalan Iskandar Muda, Banda Aceh, cukuplah mengurus kontrak dan
sewa lahan PT KAI saja. Seperti yang diumumkan lewat spanduk yang dipasang di depan kantornya. Alamak.(nur raihan lubis)
Kantor PT KAI di Banda Aceh. Foto diambil Juli 2012. Foto: Raihan Lubis |
Referensi :
http://oase.kompas.com/read/2011/07/21/10045816/Sejarah.Kereta.Api.di.Indonesia
http://wikipedia.org
http://raihanlubis.blogspot.com/2012/08/atjeh-tram-riwayatmu-kini.html
http://raihanlubis.blogspot.com/2012/08/atjeh-tram-riwayatmu-kini.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar